Contact Form

 

Kisah Hidup Gallileo

Pelajaran dari Galileo: Agama Tidak Pernah Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan

Cerita Galileo Galilei adalah cerita tentang kesalahan para pemuka agama menjaga kepercayaan umat manusia akan kebenaran sabda Tuhan.
Kalau saja dunia mengikuti apa yang disabdakan para pemuka Gereja di abad 17 mengenai kesesatan pikiran Galileo,   mungkin ilmu pengetahuan akan berkembang sangat lamban. Kalau saja perintah agar masyarakat tidak membaca daftar buku terlarang yang ditetapkan Gereja diikuti, pemahaman akan hukum Tuhan mengenai alam semesta mungkin tidak bergerak ke mana-mana.

Cerita Galileo adalah cerita yang menjelaskan mengapa kebebasan berpikir harus dilindungi untuk mencapai kemaslahatan bersama. Cerita Galileo adalah cerita yang menjelaskan mengapa agar agama tetap hidup, para pemuka justru harus menghargai perbedaan, betapapun itu mungkin nampak bertentangan dengan  keyakinan yang sedang berlaku.
Matahari sebagai Pusat Alam Semesta
Kehidupan Galileo Galilei (1564-1642) memang jauh dari biasa. Di satu sisi, ilmuwan Italia ini dipuja-puja. Namun di masa hidupnya, oleh gereja, ia dicap sebagai ilmuwan yang sesat dan menyesatkan.
Sampai saat ini, ia kerap dianggap salah seorang ilmuwan yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan metode ilmiah di dunia. Sumbangan penemuannya terentang di banyak wilayah: fisika, matematika dan astronomi. Belakangan, Albert Einstein bahkan menyebutnya sebagai Bapak Fisika Modern.
Untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, Galileo  senantiasa berusaha mencari pembuktian kebenaran  dalam dunia empirik melalui rangkaian eksperimen. Ini menjadi penting mengingat di masa-masa sebelumnya, umumnya  pengetahuan tentang kebenaran ditentukan para filsuf yang mendasarkan pandangannya pada pikiran dan penyelidikan kualitatif. Galileo menemukan kebenaran berdasarkan bukti empirik  dan penghitungan secara kuantitatif.
Ada begitu banyak teori dari kaum cerdik cendekia di masa lalu yang digugat Galileo, termasuk Aristoteles. Namun salah satu sumbangan terbesarnya dalam dunia pengetahuan adalah justru tatkala ia memberikan bukti yang memberi pembenaran atas teori yang dibuat Copernicus tentang alam semesta.
Nicolaus Copernicus (1473-1543), yang wafat beberapa tahun sebelum Galileo lahir,  percaya bahwa pusat alam semesta adalah matahari — dan bukan bumi seperti yang dipercaya sebelumnya. Menurutnya, bumi berputar, sementara matahari diam. Hanya saja, biarawan asal Polandia itu mendasarkan teorinya tersebut sekadar pada pengamatan mata telanjang,  ditambah dengan bacaan, pemikiran dan hitungan matematis. Bisa dibilang, ia dia tidak memiliki bukti empiris pendukung apapun.
Galileo memberikan bukti yang dibutuhkan untuk membenarkan teori Copernicus. Dengan teleskop yang ia buat sendiri, ia menemukan gejala-gejala alam yang menunjukkan bahwa bumi dan planitnya berputar mengelilingi matahari.
Ia juga terkenal dengan teorinya bahwa gerak pasang surut samudra merupakan bukti bahwa Bumi memang berputar di ruang angkasa. Dia menganggap pasang surut adalah konsekuensi alam akibat gerakan Bumi. Logikanya kira-kira begini: jika Bumi tetap diam, bagaimana bisa airnya mengalir terus, naik turun dengan dengan interval teratur di sepanjang pantai?
Gara-gara pandangan dan ‘penemuannya’ itu, Galileo  menjadi begitu termashur. Namun itu sekaligus menghadapkannya dengan para pemuka gereja.
Masalahnya, penguasa Gereja Katolik pada saat itu tidak suka dengan pandangan kosmologis heliosentris (berpusat pada matahari) yang diperkenalkan Copernicus. Gereja  lebih percaya pada pandangan yang diwariskan filsuf besar Yunani Aristoteles yang melihat bumi sebagai pusat semesta (geosentris).
Bagi Gereja, teori Copernicus itu absurd. Pandangan itu dihujat bukan saja karena bertentangan dengan pemikiran para filsuf besar yang dianggap identik dengan kebenaran sejati, tapi juga karena dianggap menentang akal sehat — mengingat manusia dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan tenggelam di barat.
Ada pula logika awam yang lain: bila memang bumi berotasi dan begerak, sebuah bola yang dilemparkan tegak lurus ke udara seharusnya tidak akan jatuh kembali ke tangan pelemparnya, melainkan mendarat kembali di kejauhan. Atau argumen ini: bila memang bumi berotasi, manusia akan menderita pusing karena harus berputar setiap hari
Apalagi ada kalimat Tuhan dalam Injil yang seolah-olah memberi pembenaran soal itu. Sebuah ayat menyatakan: “Oh Tuhanku, Kaulah yang Mahabesar . . . Kau pancangkan bumi pada dasarnya, tidak bergerak untuk selamanya (Mazmur 104: 1-5).”
Gereja berkeras bahwa Al-Kitab menyatakan dengan tegas bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Dalam Injil juga termuat kutipan pernyataan (Nabi) Sulaiman: “matahari terbit dan matahari tenggelam dan bergegas kembali ke tempatnya terbit.”
Bagi para petinggi Gereja, pernyataan Sulaiman itu tidak mungkin salah, karena Sulaiman adalah orang yang berbicara tidak hanya atas inspirasi Tuhan. Sebagaimana dalam tradisi Islam, Sulaiman dianggap oleh para pemuka Gereja sebagai orang yang paling bijak dan terpelajar dalam ilmu pengetahuan tentang segala benda ciptaan Tuhan, dan kearifannya berasal dari Tuhan. Menurut mereka, adalah tidak mungkin Sulaiman memastikan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.
Kepanikan Gereja
Di pihak lain, ada pula situasi khusus yang memang sedang melanda Kristen. Gereja Katolik ketika sedang berada pada posisi yang agak panik, terutama akibat gelombang reformasi Protestan di Jerman pada 1517 yang mengakibatkan perang 30 tahun yang memakan ribuan korban nyawa.
Hampir bersamaan dengan itu, Eropa juga dihantui apa yang disebut Wabah Hitam, yang diawali oleh penyebaran  penyakit pes dari daratan Cina lewat tikus-tikus yang terbawa kapal-kapal dagang, dan menewaskan hampir sepertiga penduduk Eropa hanya dalam 25 tahun. Wabah ini dipercaya sebagai hukum yang diturunkan Tuhan pada manusia yang akidahnya telah rusak.
Dengan demikian, para pemuka agama menjadi begitu sensitif dengan apapun yang akan semakin melemahkan kepercayaan umat akan Gereja. Pada pertengahan abad 16, Gereja mengeluarkan serangkaian dekrit yang menetapkan batasan-batasan penafsiran agama. Mereka menolak desakan Martin Luther – Bapak Protestan – tentang hak untuk membaca sendiri Kitab Suci oleh pribadi-pribadi. Pada 1546, Gereja membuat pernyataan bahwa “tidak seorang pun boleh mengartikan Kitab Suci menurut pendapatnya sendiri dan melencengkan Kitab suci sekehendaknya.”
Pada 1564, tahun kelahiran Galileo, Gereja mengeluarkan  ketetapan yang mewajibkan setiap pejabat Gereja Katolik mengucapkan sumpah yang antara lain berbunyi: “Saya tidak akan menerima ataupun menafsrkan Kitab Suci dengan cara lain, kecuali yang telah disetujui secara bulat oleh Bapa-Bapa Gereja.”
Dengan begitu, ketika kemudian Galileo melempar bukti yang berbeda dengan keyakinan umum gereja ini,  ia pun dengan segera dituduh menyuarakan sebuah pandangan keliru yang dianggap akan merusak akidah umat. Para pemuka gereja menuduh Galileo akan mendorong kemurkaan Tuhan dengan logika sederhana: mula-mula teori-teorinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan akan isi kitab suci, lalu meragukan kebenaran sabda Tuhan dan otoritas gereja, sehingga akan tersesat menjauh dari jalan yang benar. Ini semua, pada gilirannya, akan membawa dunia pada terwujudnya janji ancaman hukuman Tuhan pada mereka yang kafir dan murtad.
Galileo yang malang harus berhadapan dengan serangkaian tembok. Pada 1616, ia diperintahkan Paus Paulus V untuk berhenti menyuarakan pandangannya yang mendukung hipotesis Copernicus itu. Paus, setelah mendengarkan penjelasan sebelas ahli teologi  menetapkan bahwa teori Copernicus “berlawanan dengan dogma Gereja”. Gereja  bahkan menyatakan gagasan Copernicus itu bukan saja “bodoh dan absurd” tapi juga “secara keimanan keliru”.
Keadaan memang sempat berubah. Pada 1623, seorang Paus baru – Urban VII – mengembalikan hak-hak Galileo untuk menekuni ilmu pengetahuan, meskipun tidak secara tegas mencabut larangan soal penyebaran gagasan heliosentris itu.
Gembira dengan pelonggaran ruang itu, Galileo kembali mempelajari teori yang sempat diabaikannya itu. Pada 1932, ia meluncurkan  buku Dialogue on the Two Chief World Systems yang semakin memperkuat hipotesis Copernicus. Kali ini kemarahan para pemuka agama tak lagi dapat dibendung. Ia diajukan ke pengadilan terbuka yang memaksanya untuk mencabut kembali teori-teori yang sudah ia publikasikan.
Buku Dialogue itu  ditarik dari peredaran dan tercatat dalam daftar buku terlarang oleh gereja Katolik. Galileo sendiri diperintahkan untuk secara permanen tak lagi bicara soal bumi yang mengelilingi matahari.
Karier keilmuan Galileo praktis terhenti. Meski tidak dipenjara, ia harus hidup dalam tahanan rumah. Ia juga sempat tak boleh menerima tamu, walaupun kemudian larangan itu dibatalkan. Bagaimanapun, ia tak diizinkan untuk membicarakan teori-teorinya dengan para tamunya. Dalam lima tahun terakhir kehidupannya, Galileo mengalami kebutaan. Pada 8 Januari 1642 Galileo meninggalkan dunia.
Seorang yang Beragama
Catatan sejarah saat ini menunjukkan bahwa Galileo sama sekali tidak pantas dikategorikan sebagai ilmuwan yang ingin menyesatkan umat Kristen. Galileo bukan tidak percaya pada Injil. Namun dia percaya bahwa Injil seharusnya tidak dinilai sebagai  kitab yang mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan kitab yang membawa manusia menemukan jalan keselamatan ke surga.
“Aku percaya bahwa Tujuan Kitab Suci adalah mengajak manusia menemukan kebenaran yang diperlukan demi tercapainya keselamatan,” tulis Galileo dalam salah satu suratnya. “karena ilmu pengetahuan alam tidak akan mampu melakukannya.”
Namun, tulis Galileo lagi, ia percaya bahwa Tuhan memberi manusia panca indera dan akal untuk menemukan sendiri ilmu pengetahuan yang tidak sedikit pun disebut dalam Kitab suci . Baginya, teologi berkaitan dengan perenungan ilahiah yang tertinggi yang  derajatnya berada di atas berbagai ilmu pengetahuan alam.
Karena itu, menurut Galileo, para pemuka agama seharusnya tidak menggunakan otoritas keagamannya untuk menghakimi ilmu pengetahuan, karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda.  Bila itu dilakukan, para pemuka Gereja  merendahkan agama ke tingkat spekulasi ilmu pengetahuan yang derajatnya lebih di bawah dan tidak ada hubungannya dengan keberkahan.
Dengan nada pahit, Galileo menulis: “Para pemuka agama ini tidak selayaknya merebut otoritas untuk memutuskan kontroversi di bidang-bidang yang tidak pernah mereka pelajari atau praktekkan. Ini mirip dengan seseorang yang zalim , yang bukan dokter atau arsitek, yang sadar bahwa dirinya memiliki kekuasaan lalu melakukan praktek pengobatan dan membangun gedung sesukanya – dengan mengambil risiko nyawa pasien-pasien yang malang dan runtuhnya gedung yang mereka bangun.”
Menurut Galileo Tuhan  menurunkan kitab suci dalam bahasa yang mudah dimengerti manusia. Tuhan dengan sengaja menyederhanakan efek-efek fisik di alam agar bisa dipahami oleh manusia awam.
Ia berulang-ulang menyatakan bahwa temuan-temuan keilmuan yang ia utarakan tidaklah perlu membuat orang menggugat kebenaran Kitab Suci. Ketika Galileo sadar bahwa tulisan-tulisannya telah menimbulkan kegoncangan di kalangan para pemeluk agama yang mempertentangkan ilmu pengetahuan dan Injil, dia menulis:
“Kitab Suci tidak bisa salah dan ketetapan-ketetapan yang ada di dalamnya mutlak benar dan tidak tergoyahkan. Aku hanya ingin menambahkan bahwa biarpun Kitab Suci tidak bisa salah, penafsiran terhadapnya bisa saja salah ketika mereka mengartikannya hanya secara harfiah kata per kata. Jika ini yang terjadi bukan hanya akan banyak kontradiktif yang muncul, tetapi juga bisa menggali kekufuran dan penghujatan karena kita akan memanusiawikan Tuhan.”
Toh segenap upayanya untuk meluruskan kebenaran tak didengar. Gereja tetap menghakimi pandangan Galileo sebagai kesesatan yang nyata. Dan ketika akhirnya ia dikucilkan, kepercayaan Galileo akan Tuhan tetap tak goyah.
Galileo menganggap bahwa hidup manusia, seperti apapun jalannya, adalah anugerah terindah dari tangan Tuhan. Menurutnya, “manusia mesti menerima nasib buruk bukan hanya dengan terima kasih melainkan juga dengan rasa syukur tak terbatas kepada Yang Maha Pemberi, yang memberi penderitaan itu agar kita terhindar dari cinta berlebihan terhadap hal-hal duniawi …”
Sebuah Pengakuan, Pada Akhirnya
Galileo memang bisa dibungkam Gereja. Namun, kebenaran ternyata menemukan jalannya sendiri. Kendati karyanya dilarang, warisan Galileo dilanjutkan oleh para muridnya dan komunitas ilmuwan lebih luas. Pandangan-pandangannya terus dibicarakan dan menginsiprasikan temuan demi temuan baru.
Sikap keras Gereja justru membawa pukulan balik yang tak diharapkan. Ketika masyarakat mempelajari kebenaran teori Copernicus dan Galileo, kredibilitas Gereja pun menjadi semakin goyah. Akibatnya, pemisahan agama dari sains nampak menjadi sesuatu yang sangat alamiah. Lebih buruk lagi, bagi sebagian kalangan skeptis, agama adalah musuh sains.
Pada abad 18, ilmu pengetahuan mengkohkan keyakinan Galileo tentang bumi yang bergerak. Namun baru  pada 1822, gereja mulai mengizinkan penerbitan buku-buku yang mengajarkan teori bahwa bumi bergerak. Tigabelas tahun kemudian,  Dialogue karya Galileo dicopot dari daftar buku-buku terlarang.
Bagaimanapun, perdamaian Gereja dengan sang ilmuwan berjalan sangat lamban. Pada 1982, Paus John Paul II membentuk Komisi Galileo yang terdiri dari empat kelompok untuk meneliti persoalan Galileo. Dan baru sepuluh tahun kemudian Paus John Paul II dengan terbuka menyatakan dukungannya atas pemikiran Galileo.
Di tahun itu, 350 tahun sejak meninggalnya Galileo, Paus menyayangkan bahwa “ketidakpahaman yang tragis telah ditafsirkan sebagai cerminan dari pertentangan mendasar antara sains dan iman.”
Perdamaian itu mungkin datang terlambat. Bagaimanapun, itu merupakan pelajaran penting tentang harga yang harus dibayar takala mereka yang merasa telah menemukan kebenaran ilahiah diberi hak untuk melarang orang lain mengungkapkan kebenaran yang lain. Bahwa, alih-alih membawa kebaikan, itu justru akan menjauhkan dunia dari kebenaran yang sesungguhnya.

Total comment

Author

Giga

0   comments

Post a Comment

Cancel Reply